Aku pernah terbangun dalam
keadaan gamang, sebab harapan yang terlalu tinggi. Pernah juga
terbangun dalam keadaan mati, sebab dibunuh oleh mimpi. Tapi sekali, aku
terbangun dalam keadaan hidup, namun segalanya telah berhenti. Aku
tidak mati, hanya cerita yang kuakhiri. Lalu terjerat ingatanku, pada
durma yang menyebar kebencian. Terperosok tubuhku dalam nafsu yang tak
mengenal majikan.
Aku terlalu mengabaikan logika, hingga perasaan merajai seluruh indera. Aku buta, pada kenyataan. Aku tuli, pada bisik-bisik kebenaran. Aku kebas, pada sentuhan. Aku bisu, pada kejujuran. Dan hanya getir, yang kukenal di ujung bibir. Kau pernah membawaku pada sebuah titik, dan mengikatku hingga tak berkutik. Lalu kau biarkan segerombolan burung-burung pemakan bangkai, menghabisi harapanku yang abai.
Creds: Andhika Hadi Pratama
Aku terlalu mengabaikan logika, hingga perasaan merajai seluruh indera. Aku buta, pada kenyataan. Aku tuli, pada bisik-bisik kebenaran. Aku kebas, pada sentuhan. Aku bisu, pada kejujuran. Dan hanya getir, yang kukenal di ujung bibir. Kau pernah membawaku pada sebuah titik, dan mengikatku hingga tak berkutik. Lalu kau biarkan segerombolan burung-burung pemakan bangkai, menghabisi harapanku yang abai.
Kala
itu, aku mentitikan kisahku. Aku mengakhiri cerita yang bermain di
kepala–yang di dalamnya, kau lah pemeran utama yang kusanjung di hadapan
Tuhan. Kemudian lahir sebuah pertanyaan, kau pergi dengan tawa atau
airmata?
Namun yang kutahu, ketika kutitikan kisahku, Tuhan mengenalkanku pada koma; dimana kisah hanya dipisah unsurnya, bukan dihentikan ceritanya.Dan kini, aku terbangun dalam keadaan mengerti, bahwa bagi Tuhan, kata "selamanya", adalah kata yang memiliki makna terlalu lama. Lalu koma, layaknya sosok senja yang bertugas membagi masa. Dan kau; pagi yang kurelakan, teruntuk pagi yang lain–yang juga akan digantikan. Hingga malam, akan kembali menjadi teman setia, dalam perjalanan.
Creds: Andhika Hadi Pratama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar